Empat Pilar Kegagalan dalam 1996 Everest Disaster

02.11 Posted In Edit This 0 Comments »
Mencoba untuk membuat ulasan tentang tragedi 10 mei di everest ini cukup sulit. Saya pribadi harus beberapa kali membuat hipotesis2 yang saling berhubungan dengan sudut pandang pribadi. Tetapi paling tidak saya merasa bahwa paling sedikit ada empat permasalahan dasar dalam tragedi 10 mei 1996 itu yang kemudian menjadi terkenal karena memang terpublikasi secara luas.

Empat permasalahan dasar tersebut adalah :
1. Leadership Structure (Organisasi Kepemimpinan & Team)
2. Communication (Radio Komunikasi)
3. Financial Concern (RAB & Manajemen Budget)
4. External Pressure (Faktor subjektif)


Kita semua tahu bahwa mendaki gunung adalah aktivitas yang beresiko. Apalagi untuk mendaki Everest (8850m). Meski everest bukanlah gunung tersulit untuk didaki, tetap saja butuh perhitungan dan pola2 manajerial team yang baik. Para leader dari dua event organizer Adventure Consultans (Rob Hall) dan Mountain Madness (Scott Fischer) memiliki anggapan bahwa everest bisa didaki dengan syarat2 yang mereka sudah tetapkan dan jika klien bisa memenuhinya.

Tetapi kenyataan berkata lain, tragedi pun terjadi dan merenggut lima orang dari kedua team (Hall & Fischer) pada malam hari 10 mei 1996. Tiga dari lima orang korban tewas dalam tragedi itu adalah petinggi2 team ekspedisi. Mereka adalah Fischer (Leader), Hall (Leader) dan Andy Harris (Guide nya Rob Hall). Bagaimana bisa dua EO ekspedisi ternama Everest bisa kehilangan petinggi2nya? Apa yang salah?

1. Leadership Structure
Pembuatan keputusan dalam mendaki gunung seringkali sangat beresiko terhadap kemungkinan hidup matinya anggota team ekspedisi terutama klien. Sebuah langkah penting dalam proses pembuatan keputusan ini adalah mempertimbangkan resiko dalam setiap kemungkinan keputusan yang diambil, dan disitulah fungsi leader team.

Saya kira Hall dan Fischer mengabaikan untuk mempertimbangkan konsekwensi atas keputusan yang mereka buat. Kedua team mereka sangat terlambat untuk mencapai puncak everest pada 10 mei 1996 itu. Biasanya seorang pendaki akan membatalkan pedakiannya jika setelah jam 3 siang belum bisa mencapai puncak. Tetapi seluruh team pendaki dari teamnya Hall dan Fischer tetap melakukan pendakian meski waktu telah lewat dari jam 3 siang.

Fischer sendiri tidak dapat mencapai puncak meski waktu sudah jam 15:40 WE (WE adalah waktu everest karangan saya aja). Begitu pula Doug Hansen (Kliennya Hall) tidak juga mencapai puncak setelah jam 16:00 WE.

Kebanyakan anggota team ekspedisi everest 96 itu tidak saling mengenal sebelumnya pada beberapa minggu sebelum ekspedisi dilaksanakan. Sehingga tidak ada sama sekali rasa persaudaraan (solidaritas) yan kuat yang menjadi kunci utama dalam situasi ekstrem (terjebak badai) seperti saat itu.

Misalnya ketika Jhon Krakauer tidak mencoba untuk menolong Andy Harris (ketika terserang Hypoxia) maupun Beck Weathers (Blinded) saat itu. Itu terjadi karena Jhon tidak mengenal kedua orang (Harris & Weathers) lebih akrab sebelumnya. Jika saja Jhon mengenal mereka pastilah ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkannya (meski saya pribadi sedikit skeptis jika Jhon mau melakukannya meskipun mengenal baik mereka). Saya pikir ini jelas adalah kesalahan leader (Fischer & Hall) yang mengangap enteng (tidak penting) hubungan antarpersonal dalam team sebelum melakukan ekspedisi. Dan tidak memasukannya kedalam struktur organisasi pada ekspedisi komersialnya.

Jadi struktur organisasi yang dibangun oleh kedua leader tersebut saya rasa sebagai penyebab utama mereka gagal kembali ke Camp IV di ketinggian 7900 meter. Selain itu leader yang menyewa beberapa guide (boukreev,groom,harris) tidak mengkondisikan agar hubungan antara guide dan klien dalam kondisi akrab. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab klien menjadi rentan kecelakaan ketika guide tidak memiliki otoritas untuk mengambil keputusan (baru bisa setelah leader nya tewas).

Andy Harris yang menjadi guide Rob Hall terserang hypoxia ketika system oksigennya tersumbat karena es. Dan itu menyebabkan Harris gagal untuk mengantarkan klien nya. Dan gagal pula ketika diminta bantuannya untuk menolong Hall dan Hansen ketika mereka terjebak di Hillary Step. Dan akhirnya ia pun gagal juga mempertahankan hidupnya.

Boukreev sebagai guide Fischer yang pada saat cuaca masih bersahabat, tidak bisa menyuruh klien untuk segera kembali ke Camp IV (membatalkan ke puncak) karena memang dia tidak memiliki otoritas untuk itu. Tetapi itu bertolak belakang ketika boukreev menjadi leader team Kopasus 1997 Indonesia Everest Expedition, dia terlihat dominan dan matang dalam kalkulasi setiap strateginya sejak dari training centre, aklimatisasi dan ekspedisi. Peran Bashkirov dan Vinogradsky pun diciptakan oleh Boukreev agar menyatu dan akrab dengan team Indonesia sehingga di titik kritis (Camp IV Summit) masing2 pihak bisa bekerjasama dengan baik saat itu.

2. Radio Communication & 3. Financial Concern
Team Mountain Madness yang dikelola Fischer jelas2 melakukan kesalahan fatal dengan miskin nya radio komunikasi dalam ekspedisi sehingga berdampak sangat fatal kepada kepemimpinannya dalam ekspedisi.

Dalam pendakian gunung jarak antara team dengan logistik dan backup team biasanya terpisah ratusan meter. Dan komunikasi radio jelas sebuah hal yang vital dalam mengorganisasi pergerakan, logistik dan hal2 darurat. Dan faktanya boukreev pun kesulitan komunikasi saat kondisi darurat disana. Di dalam team Mountain Madness, hanya Fischer dan Sirdar (Lopsang Jangbu Sherpa) yang memiliki radio komunikasi saat summit attack.

Contoh kongkritnya ketika Dale Kruse mengalami sakit ketinggian saat menuju Camp II, Fischer tidak bisa meminta bantuan boukreev yang saat itu sedang mendaki jauh didepannya. Mengapa? Karena Boukreev tidak memiliki Radio Komunikasi saat itu. Dan konsekwensinya Fischer harus mengantarkan Kruse kembali ke Basecamp lalu mengejar lagi team yang berada di Camp II hanya karena tidak adanya komunikasi dengan Boukreev. Dan hal inilah yang saya yakini sebagai awal dari ambruknya fisik Fischer.

Komunikasi antara team pendaki dan Basecamp pada pendakian 10 mei tersebut saya rasa juga tidaklah standar. Lalulintas berita (pesan) pun terlalu beresiko misalnya ketika Penanggungjawab Basecamp (Inggrid Hunt) ingin berkomunikasi kepada team di Camp IV, dia menyuruh Ngima Kale Sherpa untuk mengirim pesan ke Gyalzen Sherpa di Camp II lalu diteruskan ke Pemba Sherpa dan diterjemahkan kedalam bahasa Inggris kemabali oleh Pemba dan barulah sampai pesan itu kepada Fischer. Sistem komunikasi (radio) dan penggunaan bahasa yang tidak terintegrasi inilah juga yang membuat kompleksitas masalah diatas sana terakumulasi dan puncaknya ketika tragedi 10 mei malam. Inipun menjadi kesalahan Fischer dalam struktur kepemimpinan dalam sebuah ekspedisi.

Dan miskinnya radio komunikasi di team Mountain Madness ini pun saya rasa karena faktor keuangan juga sebelumnya. Sehingga faktor ketiga masalah budget pun menjadi satu paket dengan faktor2 penyebab kegagalan Fischer dalam ekspedisi ini.

David Breashears, Ed Visteurs dan Robert Schauer (IMAX Documentary Team) yang bertemu rombongan Mountain Madness di perjalanan (beberapa hari sebelumnya) sudah pula mengingatkan bahwa cuaca di puncak saat ini tidaklah aman untuk didaki. Saya yakin rekan2 pasti tahu siapa ketiga orang yang saya sebut diatas. Pendaki2 penuh pengalaman sekelas Breashears pun saat itu memperhitungkan probability untuk sampai dipuncak tidaklah tinggi karena cuaca yang tidak stabil.

4. External Pressure
Ini adalah masalah klasik yang dimanapun kerap terjadi dan sangat vital dalam menentukan hasil suatu ekspedisi. Objektivitas dan logika ilmiah kadang harus dikubur dalam2 ketika subjektif think mulai mengemuka.

Ulasan logis Breashears (IMAX Leader) dan misgiving boukreev berkaitan dengan masalah cuaca yang terjadi dalam diskusi (Fischer & Hall) di Camp IV menjadi salah satu faktor yang menyumbang terjadinya tragedi ini.

Fischer tidak mengikuti saran dari Breashears dan Boukreev agar mempertimbangkan kembali pendakian ke puncak. Justru dia (Fischer) malah setuju dengan apa yang Rob Hall ucapkan. Terkesan bahwa Fischer seakan menjadi boneka Hall dalam keputusan2 yang sangat vital (ternyata tidak hanya di Indonesia pola pikir ngikut senior terjadi). Saya kira bukanlah karena Fischer adalah seorang amatir, tetapi lebih karena faktor bisnis yang menjadi tolak ukur keputusan Hall terasa berat untuk ditolak.

Rob Hall memang seorang leader dengan reputasi yang baik, sedangkan Fischer merupakan orang baru dalam membuat (mem-package) sebuah EO pendakian. Karena Fischer seorang Amerika, maka terkesan menuruti semua yang Hall katakan. Bisa dipahami dari sisi bisnis bahwa mayoritas klien2 pendaki gunung 8000an adalah dari Amerika Serikat, sehingga dari sisi bisnis Fischer akan banyak diuntungkan dikemudian hari jika tetap berhubungan baik dengan Hall (oportunis kah?).

Dan yang paling jelas dari sisi External Pressure atau kepentingan lain adalah bahwa Jhon Krakauer dan Sandy Hill Pitman adalah dua orang jurnalis Amerika yang jika Fischer bisa ikut bergabung bersama mereka di puncak maka jelas kompensasi publisitas sudah menanti di depan mata. Itulah sebabnya faktor2 objektif terkesan menjadi tidak prioritas lagi ketika mereka memutuskan untuk summit pada pagi 10 mei itu. (Jenggot/NGS-IND)

1996 Everest Disaster!!

01.57 Posted In Edit This 0 Comments »
Resiko Kematian Pendaki Senior Jauh Lebih Tinggi Dari Pendaki Pemula


Into Thin Air vs The Climb
10 mei 1996 adalah saat-saat yang paling kritis dalam hidup saya, kenang Sandy Hill Pittman. Meski ia selamat dari tragedi paling dramatis dalam pendakian gunung everest, tetapi trauma psikologisnya tidaklah hilang dalam waktu singkat.

Bergabung dengan Mountain Madness Expedition dengan leader Scott Fischer (salah satu korban tewas) ia menjadi salah satu yang terkuat dari delapan klien yang dibawa oleh Scott. Tapi penulis tidak akan mengupas siapa profil Sandy ini. Penulis hanya mencoba melakukan deskripsi ulang berkaitan dengan kronologis tragedi everest 1996 dari dua manuskrip sejarah pendakian era 90-an (Into thin air dan The climb).

Satu hal yang menjadi titik berat adalah kegagalan manajemen resiko dari leader, sehingga tragedi mei 1996 ini terjadi dan menyebabkan total delapan orang menjadi korban. Seperti apa pentingnya manajemen resiko? tapi sebelum membahas itu kita lihat sisi teknis targedi 10 mei 1996 yang terjadi di zona merah everest antara jalur hillary step camp darurat di southeast ridge (8500 meter).

Jhon krakauer dalam bukunya Into Thin Air: A Personal Account of the Mt. Everest Disaster secara cukup jelas mempermasalahkan Anatoli Boukreev karena tidak menggunakan tabung oksigennya dan justru memberikan kepada rekannya Neal Beidleman dalam perjalanan summit attack, sebagai tindakan yang menyebabkan ia harus segera kembali ke camp terakhir di south col untuk refresh dan menghangatkan badan lebih cepat dari kliennya. Disamping itu secara cukup subjektif Jhon menyalahkan terjadinya hambatan pendaki di hillary step dan the balcony sehingga waktu pendakian banyak terbuang dan akhirnya mayoritas pendaki baik dari team Scott(Montain Madness) ataupun Rob Hall (Adventure Consultants') baru bisa mencapai puncak everest (8850m) lewat pukul 3 siang (kecuali Jhon,Anatoli dan Andy Harris) yang mencapai puncak everest pada pukul 1:12 p.m.

Dalam buku lain yang menjadi counter dari Into Thin Air, yaitu The Climb: tragic ambitions on Everest. Boukreev, Anatoli; G. Weston Dewalt (1997) dikupas secara jelas alasan-alasan yang menjadikan anatoli tidak menggunakan tabung oksigen di atas sana.

Penulis pribadi sebagai seorang praktisi petualangan memahamai apa yang dilakukan Anatoli. Bukankah Anatoli pula yang mengevakuasi Sandy Hill Pittman, Charlotte Fox dan Tim Madsen secara bersamaan di tengah badai hebat di camp V /South Col (7900m) dan terpaksa meninggalkan Yasuko Namba (pendaki wanita jepang) karena kondisinya yang sudah sangat dekat dengan kematian?.Yang pada waktu kemudian menjadi sebuah kontroversi seperti juga Anatoli pernah katakan, I,m expressed profound regret at her lonely death, saying that she was just a little 90-pound woman, and that someone should have dragged her back to camp so she could at least die among her companions. Pada ekspedisi selanjutnya bersama Team Indonesia Everest Expedition, Anatoli berhasil menemukan jasad Yasuko Namba di atas ketinggian 8000 meter dan menguburkannya secara sederhana dan beberapa hari setelah pendakian tersebut, ia meminta maaf kepada sang suami Yasuko karena telah gagal untuk menyelamatkan nyawanya.

Sedangkan berkaitan dengan hambatan di hillary step, menurut penulis Jhon Krakauer cenderung mementingkan teamnya (Adventure Consultants'), padahal pada saat yang sama, team yang lain (Mountain Madness) juga berada pada tempat yang sama. Jika mau bercermin pada tahun 2003 dalam acara ulang tahun ke-50 everest, faktanya terdapat 100 pendaki di hillary step dan juga terjadi bottlenecks disana, tetapi semua bisa ke puncak dan kembali dengan selamat bukan?

Pada akhirnya objektivitas into thin air terjun perlahan dan berada dibawah the climb setelah majalah New Scientist mengangkat artikel hasil penelitian Kent Moore,dkk yang membuktikan bahwa faktanya badai hebat yang sangat buruk pada 11 mei 1996 itu mengakibatkan anjloknya kadar oksigen menjadi hanya 14% dari 30% biasanya kadar oksigen di ketinggian lebih dari 24.000 kaki. Dan sekarang orang lebih bijak menyikapi bahwa into thin air adalah curahan hati Jhon Krakauer seorang sedangkan the climb adalah sebuah narasi investigatif Weston Dewalt sebagai co-author.

Terkesan menjadi salah alamat ketika kritikan Jhon dilemparkan kepada Anatoli dalam into thin air. Idealnya ia (Jhon) lebih fokus untuk membahas sisi responsibilitas Mike Groom sebagai guide dari Adventure Consultants' dimana Jhon ikut serta. Dan adalah sebuah kewajaran jika Anatoli diatas sana memprioritaskan untk menyelamatkan anggotanya sendiri (Mountain Madness). Dan ini sekaligus menjelaskan alasan mengapa Anatoli meninggalkan Yasuko Namba dan membiarkannya mati kedinginan. Dan saya pribadi berpendapat di titik inilah buku Into Thin Air mengalami pergeseran penilaian objektif menuju subjektif. Disamping pula ketika Anatoli menyalip Jhon yang sudah tidak memakai tabung oksigen sewaktu turun menuju south col pada pukul 2:30 p.m.

Dalam salah satu kalimat pada surat resmi yang dikirim Anatoli pada tanggal 31 juli 1996 kepada Mark Bryant, Editor Majalah Outside disebutkan bahwa My decisions and actions were based upon more than twenty years of high altitude climbing experience. In my career I have summited Mount Everest three times. Sehingga terbukti jika pikiran seorang expert akan berada jauh didepan bahkan sebelum tragedi terjadi dan spontanitas seorang guide ketika memutuskan turun dari puncak dan meninggalkan klien yang berjalan terlalu pelan pun menjadi faktor penting dalam penyelamatan saat kemudian.

Dalam kalimat yang lain dalam surat yang sama disebutkan I have considered what might have happened had I not made a rapid descent. My opinion: Given the weather conditions and the lack of visibility that developed, I think it likely I would have died with the client climbers that in the early hours of May 11, I was able to find and bring to Camp IV, or I would have had to have left them on the mountain to go for help in Camp IV where, as was in the reality of events that unfolded, there was nobody able or willing to conduct rescue efforts. Jelaslah sudah bahwa pertimbangan seorang leader (guide) dalam setiap ekspedisi sangat vital bagi nyawa para klien yang dibawanya. Oleh karena itu hidup mati nya mayoritas klien dalam sebuah eskspedisi di ketinggian sangat erat dengan kualitas leader dan kebesaran hati klien yang tidak perlu memaksakan ke puncak jika leader (guide) berkata tidak.

Sayang, klarifikasi Anatoli yang cukup santun pada surat resmi nya itu tidak dibalas dengan hal yang sama oleh Jhon Krakauer dalam surat resmi nya tanggal 24 agustus 1996 yang juga ditujukan kepada redaksi majalah Outside. Pada akhir surat balasannya dengan cukup emosional Jhon Krakauer menyatakan Many of us who were on Everest last May made mistakes. As I indicated in my article, my own actions may have contributed to the deaths of two of my teammates. Anatoli is an extraordinary Himalayan climber, and I don't doubt that his intentions were good on summit day. What troubles me, though, is Anatoli's utter refusal to acknowledge the possibility that he made even a single poor decision. Not once has he ever indicated to me that maybe, just maybe, it wasn't the smartest choice to climb without gas or go down ahead of his clients. Anatoli doggedly insists that he would make the same decisions all over again--in his opinion, he was the only person on the mountain who did everything right. The rest of us fucked up big-time, but not Anatoli.

Sayang memang, akhirnya Anatoli pun harus tewas dalam pendakian marathon nya di akhir tahun 1997 di Annapurna (8078m), Simone Moro yang menjadi partner Anatoli pada pendakian alpine style tersebut meyakini kalau longsoran salju lah penyebab utama hilangnya Anatoli dan beberapa minggu kemudian dinyatakan tewas.

Indahnya Kebersamaan ?
Anatoli, Bashkirov dan Vinogradsky adalah sebuah contoh sukses dari kerjasama dalam sebuah team yang melahirkan prestasi-prestasi di atas ketinggian. Kebersamaan yang mereka lakukan tidak semata-mata hanya untuk kepuasan pribadi atau golongan saja. Meski mereka semua adalah satu kampung (Russia) tapi prestasi yang mereka raih tidak lagi berlevel kampung dan duniapun mengakuinya, bahkan dalam masa-masa sulit akhir tahun 1997 ketika Anatoli dinyatakan hilang di Annapurna.

indahnya kebersamaan memang bernilai relatif tetapi paling tidak pernah terjadi dalam ekspedisi K2 (karakoram) tahun 1953 ketika Charles Houston sebagai leader team mencoba jalur pemanjatan South-East Spur bersama Robert Bates,dll. Meski Gilkey akhirnya tewas dalam tragedi tersebut, tetapi akhirnya dunia mengakui sebuah kalimat yang disepakati bersama dari ekspedisi Houston dalam Third American Karakoram Expedition, "we entered the mountain as strangers, but we left it as brothers".

Jika kita mau mencermatinya maka akan banyak manfaat yang bisa kita ambil dari perseteruan dua karya besar Into Thin Air dan The Climb berkaitan dengan tragedi everest 1996 yang lebih menjadi berbau politis dan penuh publisitas daripada sisi pendakiannya itu sendiri. Tetapi sangat disayangkan semangat dan kemauan bangsa kita dalam membaca masih belum menggembirakan. Lebih banyak hanya nyaman membaca artikel-artikel yang ada daripada membaca sumber-sumber artikel tersebut, sehingga dunia penerbitan buku di Indonesia menjadi terpuruk karenanya. Sayang sekali. (Kang Jenggot/NGS-IND)

Perencanaan Penempuhan

10.42 Posted In Edit This 0 Comments »
Merencanakan perjalanan biasa tentunya akan sangat berbeda dengan merencanakan penempuhan di alam bebas. Sangatlah penting untuk mengetahui aktivitas yang akan di lakukan selama penempuhan. Yang harus diperhatikan adalah, hindari kegiatan penempuhan yang di dasari oleh ikut-ikutan atau merasa tidak enak dengan teman tanpa mengetahui apa yang akan dilakukan. Penentuan aktivitas yang akan dilakukan akan memudahkan memprediksikan resiko. Faktor mental dan kepercayaan diri sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik dan kejernihan berfikir. Kemampuan diri dapat terlatih dengan mempelajari dan memahami teknik kehidupan di alam bebas. Dalam perencanaan penempuhan ada beberapa faktor yang harus di perhatikan :

*.Faktor Alam, yaitu mencakup pemahaman mengenai lokasi tujuan, medan yang akan ditempuh, cuaca dan iklim, dan hal lain yang berkaitan dengan lingkungan. Pengantisipasian hal ini dapat melakukan studi literatur, analisis medan, pengumpulan informasi dari pemerintah setempat.

*.Faktor personil merupakan hal yang berhubungan dengan personil penempuhan, yaitu pemilihan leadership, diskripsi kerja dan tanggung jawab masing-masing, serta kemampuan setiap personil baik mental ataupun fisik.

*.Faktor Penyelenggaraan Mencakup faktor teknis, non teknis, serta semi teknis

Faktor Teknis. Berhubungan langsung dengan tingkat kesulitan medan. Beberapa hal yang termasuk didalamnya yaitu penyiapan kemampuan personil, skenario dan sistem operasi, sistem pendokumentasian, serta hal yang berkaitan dengan masalah safety.

Faktor Non Teknis. Daya dukung operasi yang tidak berhubungan dengan tingkat kesulitan medan. Faktor ini Mencakup masalah administrasi organisasi.

Faktor Semi Teknis. Faktor ini hanya terdapat dalam ekspedisi-ekspedisi besar dan kompleks. Berhubungan langsung dengan tingkat kesulitan medan tapi bersifat non teknis. Misalnya masalah komunikasi, base camp team, advance-team, out team, rescue team, dsb.

Titik Acuan Merencanakan Aktivitas (4 W 1 H)

Who, dengan siapa kita pergi, siapa yang menjadi pemimipin (leader) dan siapa yang berpengalaman dengan apa yang akan dilakukan. Aktivitas di alam terbuka sebaiknya di lakukan dengan lebih dari satu orang, dalam hal ini juga menandakan bahwa kegiatan di alam terbuka jika di lakukan dalam bentuk kelompok bisa saling berjabat erat, bekerja sama, ataupun saling berbagi.

What , apa tujuan penempuhan yang akan dilakukan, apa hambatan yang mungkin terjadi, apa yang akan dilakukan juga perlengkapan apa yang di bawa dan di perlukan.

Why, mengapa kita harus ikut, mengapa memilih kegeiatan ini.

When, kapan penempuhan akan dilakukan, berapa lama, dan musim apa pada saat itu.

Where, tempat mana yang akan di tuju, pertimbangkan tingkat kesiapan sesuai dengan medan yang akan dituju.

How, bagaimana mencapai daerah tujuan, bagaimana peralatan yang digunakan, bagaimana jika keadaan darurat muncul dan sebagainya, pada umumnya how merupakan tindakan preventif agar kegiatan berjalan lancar dansesuai harapan.

Menentukan Perlengkapan dan Memilih Logistik

Banyaknya perlengkapan yang akan dibawa tergantung dari kebutuhan dan lamanya kegiatan. Pada prinsipnya perlengkapan yang harus dibawa harus memenuhi kebutuhan sesuai dengan kegiatan yang akan dilakukan. Data perlengkapan yang akan dibawa dapat dipermudah dengan dengan membuat daftar (list). Pengelompokan barang menurut fungsi dan beratnya diperlukan untuk menentukan posisi dalam ransel dan pengaturan beban ransel agar nyaman dibawa. Secaragaris besar, perlengkapan dapat di kategorikan sebagai, perlengkapan pribadi, perlengkapan kelompok, dan perlengkapan teknis.

*....Perlengkapan Pribadi

Perlengkapan pribadi yang dibawa harus memenuhi kebutuhan pribadi tanpa mengandalkan orang lain. Perlengkapan pribadi yang harus dibawa yaitu, sepatu dan kaus kaki harus melindungi kaki dan nyaman dipakai, badan sepatu yang agak tinggi berfungsi sebagai pelindung pergelangan mata kaki dari duri semak ataupun gigitan hewan tanah, badan sepatu terbuat dari bahan yang kuat baik itu kulit ataupun sintesis yang dapat menjaga pernafasan kulit kaki, sepatu yang baik juga dapat menghindari kaki dari tanah yang basah sehingga tetap kaki kering, bagian bawah sepati tidak licin juga hindari menggunakan plastik di antara kaus kaki dan sepatu karena dapat meghambat pernafasan kulit kaki.

Pakaian yang dikenakan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu,sesuai dengan keadaan cuaca, tahan lama, nyaman, cepat kering, serta melindungi tubuh dari berbagai kondisi lingkungan. Biasanya pakaian lapanag terbuat dari bahan polipropilena atau polyester bukan bahan katun. Iklim tropis di Indonesia menyebabkan udara lebih panas. Tubuhpun akan banyak mengeluarkan keringat, maka pakaian yang menyerap keringat sangat di anjurkan untuk meakukan kegiatan di alam terbuka, untuk melindungi diri dari ranting duri dan sebagainya di uamakan dengan memakai topi, baju lengann panjang, celana panjang. Celana yang digunakan harus kuat dan lentur agar nyaman dalam perjalanan, saku celana yang banyak dapat mempermudah membawa barang-barang kecil, ikat pinggang yang kuat juga sangat berguna, celana jeans sangat tidak di anjurkan karena susah kering, berat dan bukan penghantar panas yang baik. Gaiters berguna untuk melindungi kaki dari pacet.

Ransel yang digunakan tergantung dari barang yang akan di bawa. Akan tetapi jika aktivitas yang akan dilakukan bersifat singkat dan biasa saja, bisa dengan menggunakan day pack (ransel kecil). Ransel yang baik mempunyai beberapa criteria, yaitu kokoh, bahannya kuat, tahan air, dan mempunyai sabuk pinggang untunk mengurangi goyangnya ransel. Banyak ransel yang mempunyai rangka, baik bagian dalam maupun bagian luar, rangka yang baik biasanya terbuat dari alumunium atau bahan lain yang kuat serta mempunyai bantalan sehingga tidak menyebabkan sakit pada punggung. Air minum ditempatkan pada wadah yang kuat dan tahan pecah, tidak bocor, dan mudah dibawa, tempat air minum harus di simpan pada tempat yang mudah di jangkau baik pada ransel atau pun pada ikat pinggang. Makanan yang cocok adalah makan yang berkalori tinggi sehingga dapat menambah energi.

2

Ponco jas hujan panjang dapat di gunakan untuk melindungi tubuh dan barang-barang dari hujan. Rain coat lebih praktis dibandingkan ponco namun rain coat hanya berguna melindungi tubuh saa pejalanan. Kompas, peta, altimeter, Global Positioning System (GPS) sertaalat navigasi lainnya sangat di butuhkan untuk menghindari tersesat dalam perjalanan. Sun Screen atau krim pelindung sinar matahari untuk melindungi diridari sengatan matahari.perlengkapan tidur harus kering, hangatdan nyaman. Beberapa perlengkapan tidur yang di gunakan biasanya adalah, matras, pakaian tidur, slleping bag dan jakek. Perlengkapan penunjang di antaranya, golok tebas, senter / headlamp beserta batrai juga lampu cadangan, pisau komando, alat pematik (korek api), kompor lapangan serta bahan bakarnya, nesting, alat makan, alat tulis, peluit, topi lapangan sal, survival kit, obat-obatan pribadi dll.

*Perlengkapan Kelompok

Perlengkapan kelompok, yaitu perlengkapan yang di bawa untuk memenuhi kebutuhan, biasanaya barang yang dibawa meliputi tenda, penerangan (lentera dsb), perlengkapan P3K, peralatan masak dan logistik dll.

*Perlengkapan Teknis

Perlengkapan Teknis yaitu perlengkapan yang di gunakan untuk memenuhi kegiatan yang akan di lakukan, misalnya kegiatan penelitian ataupun pemetaan wilayah biasanya di perlukan alat seperti teropong, mini tape recorder, kamera handycam, altimeter, barometer, meteran, tali plastic, kalkulator, alat tulis, water puss dll (tergantung kebutuhan), hal yang perlu di perhatiakan dalam penelitian yaitu mengetahui secara pasti metode yang akan di gunakan dalam penelitian sehingga dapat memperkirakan alat yang akan di bawa. Dalam pendakian gunung dan hiking tidak terlalu banyak memerlukan peralatan khusus, perlengkapan yang perlu di bawa berupa perlengkapan yang telah disebutkan.

Untuk panjat tebing memerlukan peralatan yang cukup banyak, seperti tali karnmantel (statis dan dinamis), hammer, harness, carabiner, descender, askendrer, sepatu panjat, chalk bag dan serbuk magnesium. Peralatan yang dibutuhkan untuk Chaping atau pnlusuran gua seperti headlamp, helm, alat komunikasi kadang alat panjat tebing juga di perlukan untukmenelusuri gua vertical. Arung jeram dalam kegiatan ini membutuhkan perahu karet, dayung, pelampung, pompa, helm, serta peralatan lain yag menunjang penelusuran sungai.

*Pemilihan Logistik

Tubuh memerlukan gizi yang cukup setiap harinya. Walaupun akan terasa sulit menentukan kadar gizi yang seimbang namun setidaknya selama penempuhan harus di perhatikan pola makan yang cukup. Dalam pemilihan logistik makanan instant memang sangat praktis untuk di bawa selain tidak memakan tempat juga mudah dalam pelolahannya, namun haus kita perhatikan tangal kadaluarsanya juga kondisi kemasannya, jangan sampai membayakan kesehatan. Hal lain yang harus di perhatikan adalah jangan sampai kemasannya dibuang sembarangan dan mengotori alam.

Tabel. Contoh Makanan yang Biasa Dibawa

Sumber : Hardinsyah dan Briawan, 1994.